Salat tujuh waktu
Salat Tujuh Waktu (bahasa Arab: As-Sab’u ash-Shalawat) adalah salah
satu ritual atau tata ibadah Kristen dalam Gereja Ritus Timur, khususnya
di dalam Gereja Ortodoks.
Barangkali agak asing rupanya, jika
orang Kristen berbicara tentang salat. Karena kata Salat atau Sembahyang
itu sendiri jarang disinggung-sentuh oleh orang Kristen. Padahal jauh
sebelum kaum Muslim menggunakan kata ini, orang Kristen Orthodox telah
menggunakan kata “Salat” saat menunaikan ibadah. Kata “Salat” itu
sendiri dalam bahasa Arab, berasal dari kata tselota dalam bahasa Aram
(Suriah) yaitu bahasa yang digunakan oleh Tuhan Yesus Kristus sewaktu
hidup di dunia. Dan bagi umat Kristen Ortodoks Arab yaitu umat Kristen
Ortodoks yang berada di Mesir, Palestina, Yordania, Libanon dan daerah
Timur Tengah lainnya menggunakan kata tselota tadi dalam bentuk bahasa
Arab Salat, sehingga doa “Bapa kami” oleh umat Kristen Ortodoks Arab
disebut sebagai Sholattul Rabbaniyah.
Dengan demikian “Salat” itu
awalnya bukanlah datang dari umat Islam atau meminjam istilah Islam.
Jauh sebelum agama Islam muncul, istilah Salat untuk menunaikan ibadah
telah digunakan oleh umat Kristen Ortodoks Timur, tentu saja dalam
penghayatan yang berbeda. Salat masih dilakukan di gereja-gereja Arab,
kalau di Gereja Katolik namanya Brevir atau De Liturgia Horanum. Hampir
seluruh Gereja-gereja di Timur masih melaksanakan Salat Tujuh Waktu
(As-Sab’u ash-Shalawat). Dalam gereja-gereja Ortodoks jam-jam salat
(Arami: ‘iddana tselota; Arab: sa’atush salat) ini masih dipertahankan
tanpa putus sebagai doa-doa baik kaum imam (klerus) maupun untuk umat
(awam).
Khidmat al-Quddus dan Salat
Dalam teks
'''Peshitta''' (dalam bahasa Aram) untuk Kisah Para Rasul 2:42 berbunyi:
‘Mereka bertekun dalam pengajaran para Rasul dan dalam persekutuan. Dan
mereka selalu menjalankan salat-salat dan merayakan Ekaristi’. Dua
corak ibadah ini merupakan penggenapan dari kedua corak ibadah Yahudi:
Mahzor dan Siddur. Mahzor, ialah perayaan besar yang diselenggarakan 3
kali dalam setahun di kota suci Yerusalem. Kata yang diterjemahkan
"perayaan", dalam bahasa Ibrani: Hag (yang seakar dengan kata Arab: Hajj
). Ketujuh ibadah sakramental, khususnya ‘Qurbana de Qaddisa’
(Ekaristi/Perjamuan Kudus) yang meneruskan ibadah Hag, maupun Salat
tujuh waktu non-sakramental, dapat dilacak asal-usulnya dari Siddur
Yahudi.
Istilah Tselota, Salat dan Shalawat
Kata Arab salat
ternyata berasal dari bahasa Aram Tselota. Contoh kata ini misalnya
terdapat pada Kis 2:42 dalam teks Arami/Syriac : "waminin hu bsyulfana
dshliha wmishtautfin hwo batselota wbaqtsaya deukaristiya" (Mereka
bertekun dalam pengajaran para Rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka
selalu menjalankan salat-salat dan merayakan Ekaristi). Dalam Alkitab
bahasa Arab, kedua ibadah itu disebut: ‘kasril khubzi wa shalawat’
(memecah-mecahkan roti dan melaksanakan salat-salat).
Kata Aram
Tselota merupakan nomen actionis, yang berarti "ruku’ atau perbuatan
membungkukkan badan". Dari bentuk kata Tselota inilah, bahasa Arab
melestarikannya menjadi kata Salat.
Selanjutnya, Mar Ignatius
Ya’qub III menekankan bahwa orang Kristen hanya "melanjutkan adab yang
dilakukan orang-orang Yahudi dan bangsa Timur lainnya ketika memuji
Allah dalam praktek ibadah mereka" (taba’an lamma kana yaf’alahu
al-Yahudi wa ghayrihim fii al-syariq fii atsna’ mumarasatihim al
‘ibadah). Dan perlu dicatat bahwa, "pola ibadah ini telah dilestarikan
pula oleh umat Muslimin" (wa qad iqtabasa al-Muslimun aidhan buduruhum
hadza al-naun min al ‘ibadah).
Selain dari itu, gereja mula-mula
juga meneruskan adab ‘Tilawat Muzamir’ (yaitu bagian-bagian Kitab
Zabur/Mazmur) dan salat-salat yang ditentukan pada jam-jam ini (wa qad
akhadzat ba’dha al-Kana’is ‘an Yahudu tilawat Muzamir wa shalawat
mu’ayyanat fii hadzihis sa’ah).
Kiblat Salat
Alkitab
mencatat kebiasaan nabi Daniel berkiblat "ke arah Yerusalem, tiga kali
sehari ia berlutut dengan kakinya (ruku’) mengerjakan salat" (Daniel
6:11, dalam bahasa Aram: "negel Yerusyalem, we zimnin talatah be Yoma hu
barek ‘al birkohi ume Tsela" ).
Seluruh umat Yahudi sampai
sekarang berdoa dengan menghadap ke Baitul Maqdis (Ibrani: Beyt
ham-Miqdash), di kota suci Yerusalem. Sinagoga-sinagoga Yahudi di luar
Tanah Suci mempunyai arah kiblat (Ibrani: Mizrah) ke Yerusalem.
Kebiasaan ini diikuti oleh umat Kristen mula-mula, tetapi mulai
berkembang beberapa saat setelah tentara Romawi menghancurkan Bait Allah
di Yerusalem pada tahun 70 M.
Kehancuran Bait Allah membuat arah
kiblat salat Kristen menjadi ke arah Timur, berdasarkan Yohanes 4:21,
Kejadian 2:8, Yehezkiel 43:2 dan Yehezkiel 44:1. Kiblat ibadah ke arah
Timur ini masih dilestarikan di seluruh gereja Timur, baik gereja-gereja
Orthodoks yang berhaluan Kalsedonia (Yunani), gereja-gereja Orthodoks
non-Kalsedonia (Qibtiy/Coptic dan Suriah), maupun minoritas
gereja-gereja Nestoria yang masih bertahan di Irak.
Makna Teologis Ketujuh Waktu Salat
Makna Teologis Ketujuh Waktu Salat
L E Philips, berdasarkan penelitian arkeologisnya menulis bahwa umat
Kristiani paling awal sudah melaksanakan daily prayers (salat) pada
waktu pagi, tengah hari, malam dan tengah malam.
Ketujuh Salat dalam gereja purba, yang penyusunannya didasarkan hitungan waktu Yahudi kuno itu, antara lain :
Salat Sa’at al-Awwal
Salat Sa’at al-Awwal
Salat jam pertama, kira-kira pukul 06.00 pagi, disebut juga Salat Subuh
dalam gereja Suriah, atau Salat Bakir (Salat bangun tidur) dalam gereja
Koptik. Dalam Gereja Barat (Katolik) disebut Prime (Latin: hora prime
'jam pertama'). Ibadat ini dalam Gereja Barat dibedakan dengan Matin
(Latin: matutinum 'waktu fajar') yang dilaksanakan saat matahari
terbit/subuh. (Matin di kemudian hari lebih dikenal dengan sebutan Lauds
(lihat Salat as-Satar di bawah).)
Keputusan Konsili Vatikan II
menghapuskan ibadat Prime dan menyederhanakan tiga ibadat Terce, Sexte,
dan None (lihat salat-salat ini di bawah) menjadi satu ibadat siang yang
waktunya dapat dilaksakan kapan saja di siang hari.
Salat Sa’at ats-Tsalitsah
Salat Sa’at ats-Tsalitsah
Terce (Latin: hora tertia 'jam ketiga'), jatuh kira-kira sejajar dengan
pukul 09.00 pagi, sebanding dengan Salat Duha dalam Islam. Salat pada
jam ketiga ini, karena memperingati Penyaliban Al-Masih (Markus 15:25),
dan turunnya Ruh Kudus atas para muridNya (Kisah Para Rasul 2:15).
Salat Sa’at as-Sadisah
Salat Sa’at as-Sadisah
Sexte (Latin: hora sexta 'jam keenam'), yang bertepatan pada jam 12.00
siang. Rasul Petrus melaksanakannya (Kisah Para Rasul 10:9), raja Daud
juga mengenal salat tengah hari (Ibrani: "Tsohorayim" ). Waktu salat ini
dapat sejajar dengan Salat Zuhur dalam Islam. Pada waktu inilah
kegelapan melanda kawasan itu mulai jam 12 waktu "Ia telah disalibkan"
(Markus 15:33).
Salat Sa’at at-Tasi’ah
Salat Sa’at at-Tasi’ah
None (Latin: hora nona
'jam kesembilan'), kira-kira pukul tiga petang menurut hitungan modern
(15.00), atau sejajar dengan Salatt ‘Asyar dalam Islam. Rasul-rasul
dengan tekun mengikuti Salat yang dikenal orang Yahudi sebagai Minhah
(Kisah Para Rasul 3:1, 10:30). Dalam Lukas 23:44-46 dikisahkan bahwa
kegelapan meliputi seluruh daerah itu, dan tirai Baitul Maqdis terbelah
dua, lalu Ia menyerahkan nyawaNya.
Salat Sa’at al-Ghurub
Salat Sa’at al-Ghurub
Dalam Gereja Katolik dikenal dengan Vesper (ibadah sore/senja/Magrib).
Waktunya bersamaan dengan terbenamnya matahari, kira-kira pukul 06.00
petang (18:00) menurut waktu kita. Salat ini untuk mengingatkan kita
pada diturunkannya tubuh Junjungan kita Al-Masih dari kayu salib, lalu
dikafani dan dibaringkan serta diberi rempah-rempah (ruttabat hadza
ash-salatu tadkara li-nuzulu jasada as-sayid al-Masih min ‘ala
ash-shalib wa takafiniyat wa wadha’ al-hanuthan ‘alaih).
Salat al-Naum
Salat al-Naum
Shalat al-Naum (‘saat berangkat tidur’), kira-kira sejajar dengan salat
‘Isya dalam Islam. Gereja Katolik menyebut salat ini Complin (Latin:
Completorium 'penutup'). Tradisi liturgis Kristiani menghubungkan salat
malam ini "untuk mengingat berbaringnya Junjungan kita al-Masih dalam
kubur" (ruttabat tadzkara li-wadla’a as-sayid al-Masih fi al-qubr).
Salat as-Satar
Salat as-Satar
Salat tengah malam (penutup) ini, disebut dalam gereja-gereja kuno
dengan berbagai nama: Salat Lail (Salat malam), Salat Satar ("Pray of
Veil", Salat Penutup), atau Salat Sa’at Hajib Dhulmat (Salat berjaga
waktu malam gelap). Dalam bahasa Aram/Suryani dikenal dengan istilah
Tselota Shahra (Salat waktu berjaga). [bnd. Wahyu 16:15, Kisah Para
Rasul 16:25].
Ibadat tengah malam, yang semula dalam gereja Latin
disebut Nocturna, tidak memiliki jam yang tetap dan dapat dilaksanakan
kapan saja di antara Complin dan Matin. Ibadat ini berpadanan dengan
Salat Tahajjud dalam Islam. Oleh sebab itu, banyak tempat yang kemudian
melaksanakannya berdekatan dengan Matin. Ibadat tengah malam ini
akhirnya pun disebut Matin (kerancuan istilah ini sebenarnya tidak salah
sebab Matin (Latin: matutinum) berarti 'waktu fajar' dan Nocturna sudah
tidak benar-benar dilaksanakan pada tengah malam lagi). Ibadat subuh
yang sesungguhnya lalu mendapat nama baru: Lauds (berasal dari perkataan
Laudate Dominum 'Pujilah Tuhan' yang terkandung dalam ayat
mazmur-mazmur yang dinyanyikan pada akhir ibadat ini), dan langsung
dilaksanakan menyusul ibadat "tengah malam" (yang kini bernama Matin).
Setelah Konsili Vatikan II ibadat tengah malam (Matin) kini disebut
Ibadat Bacaan (Latin officium lectionis) dan waktu pelaksanaannya dapat
digeser kapan saja sepanjang hari.
No comments:
Post a Comment